Sejarah Candi, Benteng Hingga Mesjid Berdinding Lapis Empat
Daftar Isi [Tampil]
Untuk memasuki ke dalam area bangunan utama, diapit oleh dua tembok persegi panjang ukuran 0,5x0,5 meter dengan tinggi sekitar 1 meter, sebuah pintu pagar besi warna hijau sebagai gerbang kecil dibagian timur dengan 11 anak tangga akan membawa kita di tingkat kedua dari tiga tingkat dan tiap tingkatan ditandai dengan tembok yang mengelilingi luasan area. Itulah gerbang utama mesjid tua bersejarah itu. Bangunan yang tidak terlalu luas untuk seukuran bangunan sekarang tersebut di sebelah barat berbatasan dengan sungai Indrapuri yang termasuk dalam daerah aliran sungai (DAS) Krueng Aceh, sebelah utara berbatasan dengan rumah penduduk. Sebelah timur berbatasan dengan jalan raya semasa zaman Belanda dan kini menjadi jalan alternatif yang sepanjang jalan disuguhkan pemandangan perkampungan masyarakat dan persawahan. Sebelah Selatan berbatasan dengan pasar Indrapuri.
Tembok lapis pertama dari bangunan tua Mesjid Indrapuri kini sudah sejajar dengan lapis kedua, hingga terlihat lapis kedua seolah-olah lapis pertama, namun untuk melihat lapis pertama yang sebenarnya, disebelah timur laut mesjid masih ada tangga lainnya sejumlah 16 anak tangga, saat kita berada di anak tangga terakhir baru jelas terlihat sisi terluar dari mesjid yang kokoh ditopang fondasi bebatuan.
Bangunan tua itu di Indrapuri, Aceh Besar. Ia sudah ada di sana jauh sebelum ada Kerajaan Islam Aceh. Menurut sejarah, bangunan yang berdiri di atas tanah lebih kurang setengah hektare itu didirikan sekitar tahun 1200 Masehi dan dulunya adalah lokasi Kerajaan hindu terbesar di Aceh, selain Indrapurwa di Lam Guron Peukan Bada dan Indrapatra di Ladong, Mesjid Raya, Aceh Besar.
Dalam sebuah artikel yang dikutip dari www waspadamedan com dalam tulisan “Candi Menjadi Masjid Jamik Indrapuri”. Sebelum tahun 1607 M – 1636 M pada masa kesultanan Iskandar Muda berjaya, Indrapuri adalah salah satu daerah yang pernah ditempati oleh orang-orang Hindu di Aceh. Candi Hindu itu dulu juga dikenal dengan benteng atau kerajaan orang Hindu, pada tahun 604 M adik perempuan dari Putra Harsha melarikan diri dari kerajaannya ke Aceh. Lalu setelah menetap di Aceh, Putra Harsha mendirikan kerajaan yang diduga adalah besar kemungkinan Indrapurisekarang ini.
Selain dugaan dari kerajaan yang didirikan oleh Putra Harsha, ada juga bukti lain yang terdapat diseputaran daerah Indrapuri tersebut seperti adanya perkampungan orang Hindu, yakni yang terletak di kampung Tanoh Abe serta beberapa peninggalan kuburan orang Hindu.Indrapurimenurut orang-orang Hindu pada zaman itu mempunyai arti Kuta Ratu, selain mendirikan kerajaan di Indrapuri, Putra Harsha juga mendirikan kerajaan lainnya di Ladong, Aceh Besar, menuju ke pelabuhan Malahayati, yang sering dikenal masyarakat sekitar dengan nama benteng Indrapatra. Dalam buku “Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh”, karangan Yunus Djamil menyebutkan bahwa, Indrapuri merupakan bagian dari kerajaan Hindu Indrapurwa, dan salah satunya termasuk benteng Indrapatra.
Dalam artikel lain yang dikutip dari www atjehpostcom, pengelola pertama masjid ini adalah Teungku Syiah Kuala, sekitar tahun 1600 Masehi, kemudian masjid ini diurus oleh Teungku Chik Eumpe Trieng pada masa Panglima Polem dan selanjutnya diwariskan kepada cucu Panglima Polem, Teungku Wahab.Terakhir masjid tua penuh sejarah ini diurus oleh Abu Indrapuri. Sepeninggal Abu Indrapuri lalu beralih tugas kepada Teungku Harun dan Teungku Nasrudin yang mendirikan sekolah di sekeliling masjid. Beliau pulalah yang mengurusi masjid ini.
Kembali ke dalam area mesjid, begitu kita berdiri di halaman tingkat dua mesjid yang sekarang sudah berlantai batako, tepat di depan pintu utama masuk mesjid sebuah kulah berisi air menjadi tempat berwudhu. Kini kulah itu sudah diberi atap sebagai peneduh jamaah saat berwudhu. Satu pintu pagar besi warna hijau lain menjadi pemisah antara lantai mesjid dengan lantai luar.
Kontruksi atap bangunan berbentuk limas segi empat sebelumnya berbahan daun rumbia, sekitar tahun 1988, saat renovasi atap bangunan diganti dengan seng hingga dengan sekarang, tiap tingkatan atap sengaja dibiarkan terbuka sepanjang lengan orang dewasa agar sirkulasi udara leluasa berganti. Seluruh tiang bangunan yang menopang atap susun tiga berbentuk segi depalan dari ujung hingga pangkal tiang dan berwarna coklat tua, keseluruhan tiang utama sebanyak 36 batang, masing-masing empat tiang utama penopang tingkat teratas atap dan berukuran paling tinggi, 12 tiang penopang atap tingkat dua lebih pendek dari empat tiang sebelumnya dan 20 tiang penopang atap terluar berukuran paling pendek. Tiap-tiap tiang disatukan dengan balok kayu dengan tebal lebih kurang 10 centimeter dengan jarak antar tiang lebih kurang 2 meter.
Sebelah utara ruangan mesjid terdapat sebuah pintu yang menghubungkan ruang utama mesjid berlantai marmer dengan menara mesjid yang dibangun sejajar dengan atap tingkat dua mesjid, areal menara seluas 3,5x2,5 meter beratap seng tingkat dua dan ditopang oleh enam tiang juga bersegi delapan. Satu tangga kayu setinggi 2,7 meter mengantar kita ke lantai menara, disana kita jumpai sebuah pentungan kayu ukuran besar yang dipercaya sudah lama ada disana. Menara ini terletak diantara tembok lapis tiga dan lapis empat bangunan mesjid.
Masih dalam ruangan mesjid, sebelah barat ada ruang beton berbentuk huruf U dengan sisi atas yang menyerupai tangga. Beton tersebut diperkirakan setebal 50 centimeter dan luas 1,5x05 meter serta tinggi 1 meter, diantara dindingnya sebelah utara dan selatan ada bentuk menyerupai kotak sebesar 10x 20 centimeter, kini ruangan itu digunakan untuk berdiri imam saat memimpin shalat. Disampingnya juga ada beton menyerupai tangga, tepat didepannya diletakkan mimbar kayu tidak berukir berwarna coklat tua untuk pengkhutbah. Diatas belakang keduanya digantung kaligrafi arab yang ditulis diatas triplek, itulah satu-satunya kaligrafi yang ada dalam ruangan mesjid tersebut.
Berjarak satu tiang dari mimbar, bisa kita jumpai tiga lemari tua yang ditaruh berjejer di sudut barat daya mesjid, lemari tersebut berisi Al- Qur’an dan buku-buku tua. Dari kondisi yang nampak, sepertinya lemari tersebut jarang dibuka. Saat kita berada dalam mesjid suasana sejuk begitu terasa, apalagi saat angin menyapu mesjid yang tidak tertutup dinding itu, dari sana angin leluasa berhembus dari segala arah.
Kini, hampir seluruh cat yang melapisi dinding mesjid berubah warna akibat lumut dan pengaruh cuaca, saksi bisu sejarah perjalanan Aceh walau kini usang karena dibakar matahari dan dibasahi hujan namun tetap diam dengan kokoh dan tetap tegak beridir diantara keramaian pasar Indrapuriyang tidak jauh dari area mesjid. Semoga dari kejayaan dan kamasyhurannya selalu menjadi pelajaran kepada generasi sekarang.
(atjehlink com/ zamroe)
Semoga bermanfaat
#KeepBlogging
Semoga bermanfaat
#KeepBlogging